“Masa depan tergantung pada apa yang kamu lakukan hari ini” – Mahatma Ghandi.

Hari Sumpah Pemuda tahun ini diperingati dalam atmosfer yang tidak biasa. Tahun 2020 memang sungguh “istimewa”.

Gelombang pandemi COVID-19 menghantam tanpa aba-aba. Tiba-tiba saja kita dipaksa menghadapi situasi yang serba sulit dan tidak pasti. Bukan hanya ancaman penyakit dan risiko kematian yang ditimbulkannya; kondisi ekonomi pun terhantam begitu kerasnya.

Teringat kutipan Mahatma Ghandi di atas, saya tercenung. Apa yang sudah kita lakukan agar bangsa ini selamat dari krisis yang ditimbulkan pandemi?

Tepat 92 tahun silam di Kongres Pemuda II di Jakarta, para pemuda berikrar untuk ber-Tanah Air, berbangsa, dan berbahasa satu. Jangan sekadar mengartikannya secara harfiah. Makna sesungguhnya dari Sumpah Pemuda adalah tekad, komitmen sebagai bangsa untuk bersatu menghadapi segala kesulitan. Dan yang terpenting, bagaimana aspek kesatuan ini bisa kita implementasikan dalam keseharian kita. Namun, sudahkah kita bersatu untuk menghadapi COVID-19?

Peran kaum muda di masa pendemi ini jauh lebih penting lagi dibanding sebelumnya. Mereka bisa mengutarakan gagasan dan pendapat melalui platform digital, dan didengar oleh begitu banyak orang. Cukup miris sebenarnya ketika melihat betapa gaduhnya media sosial dengan perang komentar yang tak ada habisnya, disertai ujaran yang mengarah ke kebencian atau perundungan di antara pihak yang berseberangan pendapat. Akhirnya hanya timbul kegaduhan, tapi tidak membawa kita ke mana-mana.

Berpikir kritis dan menyampaikan pendapat adalah keharusan. Setiap orang berhak dan bebas menyampaikan pemikirannya di media sosial. Namun jangan terjebak dalam pusaran komentar jahat. Akhirnya waktu dan energi kita habis untuk hal yang sia-sia saja. Alangkah baiknya bila suara, pemikiran, dan energi yang dimiliki disalurkan untuk gerakan yang bersifat positif, memiliki nilai tambah, dan memiliki dampak langsung ke masyarakat.

Banyak anak muda yang sudah melakukannya. Ada jurnalis The Jakarta Post Ghina Ghaliya yang memulai gerakan donasi gawai untuk pelajar yang membutuhkan, hingga warung kopi Pitulikur di Surabaya yang menyediakan wifi dan teh hangat gratis bagi siswa untuk mengikuti sekolah daring. Harus disyukuri, makin banyak letupan-letupan solidaritas seperti ini.

Aspek kesatuan semacam inilah yang perlu kita bunyikan dan implementasikan. Bagaimana kita berkomitmen untuk mendahulukan kepentingan saudara kita yang terdampak COVID-19, ketimbang mendahulukan kepentingan pribadi. Saya kira, inilah esensi dari memaknai Sumpah Pemuda di tengah pandemi.

Kesatuan kita sebagai bangsa Indonesia perlu ditingkatkan lagi. Hingga kini, aspek kesatuan lebih terangkum dalam kegiatan berbasis komunitas. Perlu ada kesadaran lebih untuk bersama-sama turun tangan secara riil membantu saudara kita yang membutuhkan. Tidak peduli apa latar belakang, etnis, agama, hingga pandangan politik kita, saatnya kita bersatu. Aksi-aksi donasi yang diiniasi kaum muda adalah letupan yang akan memicu gerakan dalam skala lebih luas.

Tak bisa dipungkiri, politik identitas yang belakangan ini begitu kental dipertontonkan, membuat kita menjauh dari semangat persatuan yang melatari Sumpah Pemuda. Begitu hebatnya polarisasi yang kini tercipta. Namun masih ada harapan dalam kotak Pandora yang telah terbuka. Letupan-letupan gerakan solidaritas untuk membantu saudara sebangsa yang membutuhkan, mulai kembali merekatkan kita. Inilah blessing in disguise. Berkah di balik musibah pandemi COVID-19. Salam Sumpah Pemuda!

Eddy Soeparno
Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional