YOGYAKARTA – Jumat malam, 25 Maret 2016, bertempat di aula DPW PAN DI Yogyakarta berlangsung diskusi publik yang dilaksanakan oleh DPW BM PAN DI Yogyakarta sebagai bagian dari seri diskusi dalam rangka menghadapi Pilwakot 2017.
Di Seri pertama diskusi yang mengambil tema  “Menelaah Identitas Jogja” menghadirkan 2 narasumber, yaitu DR. Hempri Suyatna pakar sosiologi dari UGM dan politisi PAN, Arif Noor Hartanto, yang digadang-gadang untuk maju di Pilwakot Yogyakarta 2017. Diskusi dibuka oleh ketua BM PAN DI Yogyakarta, Sugeng Nurmanto, SH dan kata pengantar oleh ketua DPW PAN DIY Nazarudin, SH. 
Dalam materi yang disampaikan DR. Hempri Suyatna, disebutkan bahwa Pembangunan Kota Yogyakarta mengabaikan dimensi sosial, sehingga sempat muncul ungkapan “Jogja Berhenti Nyaman”. Orientasinya sangat kental dengan ekonomi kapitalistik, yang ditandai mengejar pendapatan asli daerah (PAD).
“Pembangunan yang kapitalistik itu menyebabkan perubahan kehidupan di Kota Yogyakarta” kata dia.
Pembangunan yang berorientasi ekonomi kapitalistik itu terlihat dengan maraknya pembangunan hotel, pusat perbelanjaan, toko berjejaring, dan lainnya.
“Dampak dari pembangunan itu menimbulkan resistensi warga setempat,” ujar Hempri.  Resistensi masyarakat terlihat dengan munculnya gerakan “Jogja Ora Didol”, “Jogja Asat”, “Reresik Sampah Visual” “Warga Berdaya”.  Resistensi warga tidak direspons Pemkot Yogyakarta. Setidaknya Pemkot Yogyakarta tidak tegas menindak perizinan yang melanggar sampai ketidaktegasan menindak toko jejaring.
“Dalam Perwal 79/2010 jumlah toko jejaring hanya 52, tapi saat ini berapa jumlahnya, sangat banyak, lebih dari 100 buah ” kata dia. Dosen Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM ini mengatakan kebijakan pembangunan Kota Yogyakarta juga mengubah perilaku warganya. Sebelum 2008 Kota Yogyakarta termasuk kota paling nyaman di Indonesia, namun seiring pembangunan yang tidak berorientasi kepada masyarakat itu akhirnya perangkat Yogyakarta sebagai kota ternyaman itu semakin melorot .
Disisi lain Yogyakarta juga pernah dijuluki city of tolerance. Predikat city of tolerance perlu dikoreksi. Pasalnya sejak 2011–2015 tercatat ada 13 kasus intoleran. “Itu salah satu penyebabnya karena pembangunan yang berorientasi kapitalistik,” kata dia.
Dampak sosial dan ekonomi lain yang dirasakan yakni pergeseran nilai sosial dan budaya masyarakat. Warga Yogyakarta menjadi lebih konsumeristik dan intoleransi, kenakalan remaja meningkat, dan lainnya. Pada kesempatan itu, Wakil Ketua DPRD DIY Arif Noor Hartanto mengungkapkan, pembangunan wilayah tanpa melibatkan warga setempat akan sia-sia. Selama ini yang terjadi justru seperti itu.
Legislator yang akrab disapa Inung ini mengungkapkan, tidak bisa memutar mesin waktu, mengembalikan sawah di Timoho atau menjadikan Sungai Gajah Wong jernih kembali. Namun, seharusnya mengelola kondisi saat ini berdasarkan peraturan yang ada.
“Dalam penataan kota, pemerintah harus hadir dan berada di depan dengan konsep sosio kulturalnya,” kata dia.  Mantan Ketua DPRD Kota Yogyakarta ini menegaskan, warga harus dilibatkan dalam pembangunan, mulai dari perizinan pembangunan. Seharusnya setiap investor, dengan difasilitasi pemerintah mempresentasikan konsep investasinya kepada warga sekitar secara terbuka.
Pria yang dijagokan maju dalam Pilkada Kota Yogyakarta ini mengungkapkan, keterlibatan warga dalam proses pembangunan sangat penting. Di sisi lain, warga juga mendapat kesempatan menerima atau menolak. Jika warga menerima, proses perizinan baru diberikan dari pemerintah kepada investor. “Masyarakat harus menjadi juri dalam perizinan,” kata dia.
 
Kiriman dari Ari Supriyadi
PAN Yogyakarta