Semua pihak sebenarnya saling menanggung beban satu sama lain, maka toleransi sebuah keniscayaan. Dari sanalah semua pihak bisa mencari jalan keluar bersama dari masalah yang ada seperti pandemi dan krisis ekonomi.

Di tengah situasi bangsa yang sedang menghadapi pandemi dan bayang-bayang krisis ekonomi, kita memerlukan energi kebersamaan yang lebih besar. Momentum Idul Adha bisa kita jadikan sebagai titik tolak, semua elemen bangsa bisa bertemu di tengah, membangun jalan baru yang lebih optimistis.

Berbagai polemik dan perdebatan bisa kita jeda sementara. Dari soal ideologi di seputar RUU BPIP, pendekatan dalam menanggulangi dampak pandemi, hingga solusi masalah ekonomi, jangan sampai menjadi titik-titik ekstrem yang saling menarik diri ke arah yang berbeda. Trauma bangsa ini belum selesai akibat perbedaan politik elektoral, jangan sampai terus melebar ke berbagai aspek lainnya, saatnya kita bertemu di tengah.

Kurban adalah ibadah yang memberi kita inspirasi tentang titik tengah. Ajaran mulia yang diwariskan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ini mengajak yang kaya untuk turun menyantuni yang miskin. Namun, di saat bersamaan, yang di bawah juga ditarik ke atas untuk bersedia berkorban lebih. Keduanya bertemu di tengah untuk membangun jalan solidaritas.

Kurban adalah ibadah yang memberi kita
inspirasi tentang titik tengah.

Islam tengah
Ajaran tentang titik tengah merupakan salah satu esensi penting dalam Islam. Umat agama ini disebut sebagai umat tengahan (ummatan wasathan, QS 2:143). Sementara semua perkara yang baik, sebagaimana hadits Nabi, adalah pertengahannya (khairul umur awshatuha). Menemukan titik tengah adalah ikhtiar untuk mengerjakan sebaik-baiknya perkara itu.

Berbagai perbedaan yang ada harus bisa dicari jalan tengahnya, apalagi jika kita tahu semua pihak menginginkan yang terbaik untuk bangsa ini. Sejarah mengajarkan kepada kita bahwa wajah Islam Indonesia adalah wajah kaum tengahan. Wajah kaum moderat. NU, Muhammadiyah, al- Washliyah, Persis, dan lainnya dengan segala kiprah mereka mengajarkan kepada kita bahwa kepentingan umat dan bangsa harus bisa mengatasi ego-ego sektoral.

Spirit ini pulalah yang harus terus kita jaga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jangan lagi ada pihak-pihak yang merasa paling benar, paling baik, paling suci, paling bisa menyelesaikan masalah, sementara menunjuk hidung orang lain sebagai musuh yang harus dijauhi. Sikap- sikap ekstrem semacam ini hanya akan membuat kesenjangan dan mendorong konflik-konflik yang memecah belah.

Konsensus, gotong royong, solidaritas, persatuan, ukhuwah, perlu selalu menjadi kata kunci kita dalam berbangsa dan bernegara. Bangsa ini dibangun di atas dasar Pancasila dan UUD 1945 yang menghasilkan sikap toleran, tepo seliro, tenggang rasa, tolong menolong, dan seterusnya.

Karakter tengahan inilah yang membuat bangsa kita berhasil merajut persatuannya.
Dengan karakter ini pulalah seharusnya ritual kurban di Hari Raya Idul Adha ini bisa membawa kita keluar dari ancaman krisis multidimensi menyusul pandemi (Kompas, 21/07). Kurban mendorong kita bertemu di tengah untuk saling memahami satu sama lain dan mencari solusi dari masalah yang ada.

Keluar dari pandemi
Data Kementerian Pertanian tahun 2019 menunjukkan bahwa terdapat 1.346.712 hewan kurban yang didistribusikan kepada lebih dari 24,79 juta jiwa masyarakat miskin di Indonesia. Semua itu dikerjakan tanpa paksaan atau regulasi negara, semata-mata wujud keimanan umat Islam yang sekaligus diejawantahkan sebagai bentuk solidaritas sosial.

Spirit yang luar biasa ini bisa kita pinjam sebagai solusi untuk keluar dari masalah yang ditimbulkan oleh pandemi COVID-19, termasuk krisis ekonomi. Jika semua pihak sudah bersedia untuk membangun jalan tengah, bertenggang rasa dan bergotong royong, ancaman krisis multidimensional akibat pandemi ini akan bisa kita hadapi bersama. Apalagi diperkuat dengan semangat berkorban.

Spirit yang luar biasa ini bisa kita pinjam
sebagai solusi untuk keluar dari masalah yang ditimbulkan oleh pandemi COVID-19, termasuk krisis ekonomi.

Berkorban adalah tentang menenggang rasa, bahasa latinnya adalah tolerare, kesadaran bersedia menanggung beban orang lain karena rasa pengertian pada saat yang sama orang lain juga pasti menanggung beban untuk kita.

Pemerintah harus mengerti bahwa masyarakat sedang berkorban, begitu juga sebaliknya. Kaum buruh memahami bahwa para pengusaha sedang berkorban untuk bertahan, begitu pula sebaliknya. Karena semua pihak sebenarnya saling menanggung beban satu sama lain, toleransi menjadi sebuah keniscayaan. Dari sanalah semua pihak bisa mencari jalan keluar bersama dari masalah yang ada.

Saat ini umat Islam Indonesia berkorban lebih karena tak bisa melaksanakan ibadah haji. Maka ibadah kurban dengan memotong hewan ternak seharusnya menjadi momen yang memiliki dimensi spiritualitas yang lebih istimewa. Menjadi sebuah pernyataan iman untuk ikut menyelesaikan masalah sosial yang sedang dihadapi negeri ini.

Mari kita keluar dari belenggu ego masing-masing. Kita tinggalkan rasa benar sendiri dan rasa ingin menang sendiri. Saatnya kita jadi umat tengahan. Jadi masyarakat moderat. Membawa bangsa ini keluar dari pandemi dan krisis yang tengah membayangi.

Mari kita keluar dari belenggu ego masing-masing.

(Zulkifli Hasan, Wakil Ketua MPR RI)