Anggota DPR RI Fraksi Partai Amanat Nasional Farah Putri Nahlia menilai perlu adanya aturan spesifik dan komprehensif yang mengatur perbantuan militer secara holistik dalam memberikan keamanan tanpa berbenturan dengan UU berlaku.

Farah mengatakan, pelaksanaan agenda reformasi sektor keamanan yang digulirkan sejak tahun 1998 telah menghasilkan sejumlah capaian yang positif dalam pengaturan aktor keamanan di Indonesia.

Farah memberikan contoh, pengaturan tentang kedudukan, tugas, dan fungsi TNI dan Polri untuk diselaraskan dengan tata nilai, norma dan aturan hukum Negara Demokrasi.

“Berdasarkan regulasi yang ada, tugas dan fungsi keduanya telah dibedakan dimana Polri bertanggungjawab atas penegakan hukum, keamanan dan ketertiban masyarakat, perlindungan dan pengayoman masyarakat, sedangkan TNI berfungsi sebagai alat pertahanan Negara,” jelas Farah saat diskusi publik bertajuk Peran Internal Militer Problem Tugas Perbantuan TNI, yang diselenggarakan oleh Imparsial bekerjasama dengan Universitas Paramadina di Kampus Paramadina Graduate School, Senin (23/12) seperti dikutip dari Tribunnews Jakarta.

Namun demikian, menurut Farah, proses agenda reformasi sektor keamanan sampai saat ini masih menyisakan sejumlah agenda legislasi yang belum terselesaikan.

“Salah satunya berkaitan dengan pengaturan tugas perbantuan militer kepada pemerintah,” katanya.

Farah juga mengingatkan, keharusan untuk membuat aturan tentang tugas perbantuan militer yang ditegaskan dalam TAP MPR No. VII/2000, yang meliputi tugas TNI membantu penyelenggaraan kegiatan kemanusiaan, TNI memberi bantuan kepada Polri dalam rangka keamanan, dan tugas TNI membantu secara aktif tugas pemeliharaan perdamaian dunia di bawah bendera PBB.

“UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI maupun UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri juga telah memandatkan kepada pemerintah agar membuat aturan hukum tentang tugas perbantuan,” ungkapnya.

Namun demikian, Farah menambahkan, sejak kedua UU tersebut diberlakukan, pemerintah hingga kini belum juga membentuk aturan yang spesifik dan komprehensif tentang tugas perbantuan militer tersebut.

Di tengah adanya kekosongan aturan hukum tersebut, Farah menjelaskan, justru berkembang aturan-aturan hukum parsial yang mengatur tentang tugas perbantuan militer. Misalnya, Inpres No. 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri, UU No. 7 Tahun 2012 tentang Pananganan Konflik Sosial, serta berbagai MoU antara TNI dengan berbagai kementerian dan instansi lainnya.

“Dari segi hukum, pengaturan perbantuan militer yang bersifat parsial itu tidak selaras dengan UU lain. Misalnya, pengaturan perbantuan militer melalui MoU yang tidak didasari keputusan politik negara jelas bertentangan dengan UU TNI. Pasal 7 Ayat (3) UU TNI menegaskan bahwa untuk menjalankan operasi militer selain perang maka dibutuhkan keputusan politik negara,” jelasnya.

Disi lain, ungkap Farah, pada tatanan praktik, perluasan peran militer di luar perang yang dilakukan secara berlebihan dikhawatirkan akan menganggu profesionalisme militer itu sendiri untuk menjalankan fungsi pertahanan.

“Untuk itu, pembentukan regulasi yang komprehensif tentang perbantuan militer harus menjadi agenda legislasi prioritas bidang keamanan ke depan,” pungkasnya.